top of page
Search

Tren Live Shopping, Tak Sekadar Perkara Belanja


JAKARTA - Tren belanja online terus meningkat, seiring menguatnya penetrasi digital. Praktik berbelanja yang dulunya berlangsung di pasar atau toko-toko fisik, sebagiannya pindah ke ruang-ruang digital.


Kini, ada lagi gaya baru di cara belanja digital, yaitu berbelanja melalui fitur live atau siaran langsung penjual. Di Indonesia, tren lapak live ini mencuat sekira setahun terakhir. Berbagai platform e-commerce paling populer, seperti Shopee, Tokopedia dan yang lainnya, berlomba menawarkan berbagai fitur untuk tayangan langsung, berupa livestream shopping atau livestream selling ini.


Tren ini kemudian kian berkembang lewat social commerce. Ini mengacu pada platform-platform media sosial yang telah bertransformasi sedemikian rupa, terintegrasi dengan sistem layanan transaksi penjualan dan pembelian.


TikTok adalah yang terdepan. Tak lagi sekadar media berisi unggahan video pendek pengguna, platform ini telah berkembang menjadi social commerce. Di aplikasi ini, ada fitur penjualan sekaligus pembelian yang lengkap layaknya marketplace pada umumnya.


Lewat fitur Live di TikTok ataupun Shopee Live misalnya, pengguna bisa menonton para penjual yang melakukan siaran langsung. Mereka juga berinteraksi bahkan bernegosiasi harga secara langsung. Semua interaksi ini layaknya di pasar riil.


Terpikat Gaya Interaktif Bagi kalangan milenial serta gen Z yang sangat akrab dengan teknologi digital, live shopping tentu sudah tak asing. Bagi mereka, cara berbelanja ini jauh lebih menarik dan efisien dibandingkan berbelanja “konvensional” datang ke toko.


Afini Fifi (23 tahun), seorang mahasiswi dari Kota Malang yang telah terbiasa menggunakan layanan belanja online mengungkapkan hal ini. Fifi semula akrab dengan cara belanja lewat marketplace, namun belakangan mulai tertarik ke livestream shopping, terutama di TikTok.


Menurut Fifi, fitur bari ini memberi pengalaman yang lebih kuat, sehingga memengaruhi keputusannya dalam berbelanja.


"Menurut aku yang menarik itu karena mereka (penjual) berinteraksi sama penonton (sesi live) mereka baca komentar-komentar penonton, merespons permintaan kita yang calon pembeli ini. Misal kita tanya-tanya, mereka ngelayanin terus. Produknya pakaian misalnya, kita bisa minta mereka peragakan juga. Gitu-gitu sih yang bikin menarik,” ungkap Fifi saat berbincang dengan Validnews belum lama ini.

Selain kualitas interaksi yang terjadi, belanja dengan cara baru ini juga dianggap lebih menarik karena mampu memberikan informasi lebih akurat, lebih nyata bagi calon pembeli.


Pasalnya, ketika live, penampakan suatu produk bisa dicermati dengan lebih seksama, baik dari segi ukuran, bentuk hingga warnanya.


Hal itu berbeda dengan kasus saat kita melihat foto produk. Lazimnya, foto hanya teramati dari sudut pandang terbatas. Belum lagi, foto produk seringkali telah dimanipulasi dengan berbagai sentuhan visual.

Soal ini dikemukakan Aprilia Eka Putri (24 tahun), pengguna layanan livestream shopping asal Kota Banjarmasin. Menurutnya, dengan memperhatikan sesi live, bisa membantu calon pembeli yang sebelumnya sudah melihat foto produk terkait, untuk kemudian memutuskan membeli atau tidak.


Karenanya, sesi live memberi sudut pandang yang lebih nyata atas suatu barang atau produk.


“Dengan adanya adanya live tersebut kita jadi yakin mau beli barang tersebut. Juga sebaliknya, dengan adanya live, produk yang awalnya di foto bagus, ternyata kita sadar, atau lihat kurang bagus, kita bisa putuskan nggak jadi beli,” cerita Aprilia atau April.

Keunggulan lain livestream shopping juga adalah banyaknya promo. Di TikTok, misalnya, konsumen ditawari berbagai macam promo, mulai dari promo khusus pembelian pertama, gratis ongkir hingga cashback.

“Diskon, itu yang bikin tertarik,” ucap Fifi menyinggung soal preferensi dalam penggunaan platform.


Tak Melulu Soal Membeli Platform social commerce seperti TikTok memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan yang ditawarkan marketplace, semisal Shopee dkk. TikTok, karena berangkat dari konsep media sosial, pengalaman yang diberikan saat berbelanja pun menyatu dengan pengalaman berselancar di media sosial.


Seringkali, pembeli atau calon pembeli menemukan sesi penjualan live dari aktivitas mereka berselancar di beranda, halaman awal, atau istilah gaul-nya yaitu “FYP” (For Your Page). Artinya, mereka bertemu dengan penjual dan produk tanpa sengaja, tanpa ada niat untuk membeli suatu barang.


Namun, karena merasa masih berada di area FYP, pengguna pun betah-betah saja menyaksikan sesi live selling sebagai hiburan, plus informasi seputar barang dan harga-harga terkini. Buat yang belum berniat belanja, toh ini jadi informasi yang membuat mereka lebih up to date, bukan?


“Yang bikin seru itu, mantau saja, kan banyak juga customer yang lain ingin di-spill, kan, barang yang menurut mereka menarik. Jadi kita tahu, oh orang banyak suka yang ini, gitu. Terus juga sebagai referensi outfit, sih,” ucap April.

Annisa Nur Jannah, seorang pekerja swasta di Jakarta, adalah salah satu warga yang seringkali membeli suatu barang tanpa direncanakan. Meski dia yakin tak begitu membutuhkan apa yang dibeli, keinginan bertransaksi justru sering dari sekadar mamantau.


Berawal rasa bosan dan butuh hiburan, lalu membuka aplikasi marketplace atau social commerce yang menawarkan fitur live selling.


Annisa adalah pekerja yang siang harinya sibuk, tapi rawan ‘gabut’ di malam hari. Jam-jam kosong menjelang tidur itu diisi dengan berbagai aktivitas menyenangkan, salah satunya yang cukup sering dilakukan adalah menonton live selling.


“Tapi sebenarnya gue bukan yang ingin banget nontonin live online shop ini, lebih ke scroll-scroll aja, kalau ada yang suka baru deh gue tontonin sampe bosan, atau sampe udah check out,” katanya.

Menurutnya, ada sensasi tersendiri saat menonton dan berbelanja dari suatu sesi live selling. Ada faktor daya tarik host (penjual) hingga faktor pengaruh antar sesama partisipan (penonton). Dari sisi host, ada banyak penjual yang mampu tampil dan berbicara dengan menarik, sehingga menjaring antusiasme penontonnya.


Di sesi live, ada banyak orang atau penonton yang terlibat aktif dan tanpa sadar saling memberi pengaruh. Pengaruh itu bisa seperti notifikasi banyaknya transaksi yang terjadi, atau banyaknya orang yang antusias terhadap suatu produk.


“Sering gue tuh nggak terlalu butuh barang itu sebenernya tapi karena gue kepancing sama cara mereka nge-live. Terus banyaknya pembeli yang rebutan, jadi ada obsesi sendiri untuk bisa dapetin barang itu,” kisah Annisa.

Faktor Host atau Model Apa yang diungkapkan para konsumen di atas diamini sepenuhnya oleh Kezia Amelia, pemilik toko online ARCELLOFFICIAL dengan brand ARCELL. Kezia yang sudah lama berjualan di marketplace, belakangan juga merambah penjualan live, khususnya di TikTok yang dianggapnya sangat potensial.


Menurut Kezia, sukses penjualan di sesi live selling sangat dipengaruhi oleh kemampuan penjual atau yang menjadi host, model. Mulai dari gaya berbicara, penampilan, hingga kecakapan dalam merespons permintaan calon pembeli, semua itu menjadi syarat penting untuk mempromosikan produk.


Kezia pun paham bahwa setiap penonton live belum tentu akan membeli. Namun itu tak menjadi soal, sebab bagaimanapun, menarik perhatian penonton, itu sudah menjadi suatu keberhasilan bagi penjual.

“Jangan kita nge-live saja, spill-spill sendiri, tapi tanpa ada komunikasi. Karena kalau di live kan itu komunikasi yang paling penting," tutur Kezia kepada Validnews.

Kezia berjualan tas wanita, dengan rutinitas live 3 sesi dalam sehari. Biasanya, Kezia bisa menjaring puluhan pembeli dari ratusan orang yang menonton.


Tas wanita memang produk yang sangat cocok dijajakan di marketplace, terutama di TikTok yang menurut survei Populix tahun 2022, didominasi oleh konsumen perempuan (63%). Produk perempuan, dijajakan di platform yang juga mengakomodasi kebutuhan keseharian pembeli perempuan.


Terkait ini, pandangan datang dari pengamat gaya, Khairiyyah Sari. Menurutnya, perempuan cenderung senang dengan sesuatu yang ramai diperhatikan. Nah ini jika ditarik ke aktivitas live shopping, bertemulah momentumnya.


Calon pembeli perempuan lazimnya lebih merasa yakin untuk membeli bila melihat banyak orang memerhatikan atau juga ingin membeli produk yang sama dengan yang diinginkannya.

“Dan biasanya secara karakter yang kasih live itu memang seru orangnya, orang yang memang suka ngoceh juga, jadi semakin dia ngoceh semakin menarik itu barangnya,” kata terang Sari saat berbincang pada Kamis (9/2).

"SPG Digital” Sari menilai bahwa live shopping adalah medium yang potensial untuk menjaring calon pembeli, terutama pembeli perempuan di rentang usia 20 sampai 30-an tahun. Tanpa mencoba mengkonfrontasi isu narasi perjuangan gender, Sari melihat fenomena ini memberi ruang bagi hasrat berbelanja kaum perempuan yang cenderung lebih impulsif dibandingkan laki-laki.


Dari sisi penjual, Sari yang juga mengelola brand fashion miliknya sendiri bernama Booka Lingerie, memandang bahwa live shopping juga menandai karakteristik baru dunia e-commerce, dengan penekanan pada kemampuan komunikasi penjual.


Sari menyebutnya dengan “SPG digital”, merujuk para penjual yang melakukan live dengan berbagai strateginya menggaet perhatian calon pembeli. Dengan live shopping, ada tuntutan baru bagi penjual dalam hal kemampuan berbicara, atau kemampuan “menggoda” yang harus mumpuni.


Di sisi lainnya, di ekosistem mutakhir ini, kesempatan terbuka bagi semua orang. Bahkan, semua penjual memang sudah seharusnya menjadi influencer atau selebgram bagi produknya sendiri. Dengan begitu, hubungan dengan konsumennya pun akan menjadi lebih dekat dan terbangun kuat.


“Kalau selebgram kan mereka kece-kece ya, terasa jauh dan asing. Kalau orang yang punya brand sendiri, kan macam-macam bentuk dan rupanya, tapi yang jelas mereka sama-lah kayak kita-kita rakyat kebanyakan ini,” lanjutnya.

Potensi Besar Apa yang ada di dunia digital Indonesia bisa tergambar dari sejumlajh riset. Nilai ekonomi digital Indonesia pada 2022 mencapai sekitar US$77 miliar atau setara Rp1,1 kuadriliun merujuk laporan Google, Temasek dan Bain & Company dalam e-Conomy SEA 2022. Dari jumlah itu, sebesar US$59 miliar merupakan hasil dari aktivitas transaksi di e-commerce.


Sementara dari tingkat penggunaan marketplace atau social commerce, angkanya hampir menyentuh 90% dari keseluruhan penduduk Indonesia.


Bahkan jika spesifik ke segmen live shopping jika merujuk hasil survei Jajak Pendapat (Jakpat) pada Juli 2022, ada 83,7% masyarakat Indonesia pernah mengakses fitur live shopping di berbagai platform, terutama di Shopee dan TikTok. Dan yang paling sering diakses adalah pakaian serta produk kecantikan.


Nah, untuk TikTok sendiri, platform social commerce yang paling populer di Indonesia, penggunanya mencapai 99 juta orang. Ini menurut laporan We Are Social tahun 2022, Indonesia merupakan negara dengan pengguna aktif TikTok terbesar kedua setelah Amerika Serikat (134 juta pengguna).


Apa arti semua angka di atas? Sederhana saja, itu berarti ada potensi besar pada ekonomi digital Indonesia hingga tahun-tahun mendatang.


Mengikuti amatan akademis, ada pandangan dari Direktur Program Sarjana S1 Sekolah Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetiya Mulya, Handyanto Widjojo. Dia mengatakan bahwa potensi ekonomi digital yang besar, juga telah ditangkap dengan baik oleh para pengembang platform. Dan kehadiran gaya penjualan streaming, adalah pengejawantahan dari upaya menangkap perkembangan itu.


Platform, kata Handyanto, semakin memahami pentingnya membangun interaksi yang semakin nyata.

Berbagai optimisasi yang dilakukan oleh platform-platform marketplace adalah untuk mendapatkan kepercayaan dan kenyamanan generasi digital saat ini. Mereka punya banyak pilihan, dan makanya masing-masing platform berupaya menjadi yang lebih baik, lebih menarik dan lebih efisien--khas jiwa generasi baru.

“Semua ini didorong oleh tingkat persaingan Marketplace karena semakin tingginya tuntutan konsumen. Sehingga setiap platform dipacu untuk memberikan nilai lebih untuk memenuhi harapan para konsumennya,” ungkap Handyanto saat diwawancarai Kamis (09/2).

Di sisi lain, Handyanto meyakini, fitur ini tidak bisa menggantikan berbelanja secara fisik langsung. Yang didapatkan seseorang dari live shopping, hanyalah sebagian dari pengalaman yang bisa didapatkan dari aktivitas berbelanja secara langsung. Ini lah tantangan bagi platform digital, untuk memberikan pengalaman sekaya mungkin, senyata mungkin.


Sebaliknya, pada sisi konsumen harus mampu menyeimbangkan inovasi-inovasi platform untuk mengajak individu bertransaksi dengan kemampuan daya belinya.


Handyanto secara tak langsung merespon pengalaman ataupun perasaan para konsumen yang kadang bisa “terjebak” dalam transaksi yang emosional belaka.


Beberapa riset , salah satunya OCBC-Nielsen tahun 2021 menyebutkan bahwa 86% kalangan muda Indonesia (usia 25-35 tahun) memiliki kondisi finansial kurang sehat. Terhadap kausalitas kesehatan finansial dengan ‘jebakan transaksi emosional’ Handyanto sendiri enggan menyimpulkan.


Namun diakuinya, perlu kajian lebih lanjut untuk melihat kaitan kondisi kesehatan finansial kalangan muda dengan segala kemudahan dan daya pikat platform belanja online dewasa ini.


Editor: Satrio Wicaksono


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Lebih Cinta Diri Sendiri dengan Koleksi Lingerie Lokal", Klik untuk baca: https://validnews.id/kultura/tren-live-shopping-tak-sekadar-perkara-belanja

12 views0 comments

Comments


bottom of page